Thursday, May 01, 2008

Di Balik Pesona Gunung Egon

Gunung Egon, tegak angkuh. Ia menancap kokoh di Pulau Flores. Dari lereng gunung yang dalam kurun 2 tahun, sudah tiga kali meletus itu, pesona keindahan alam menakjubkan. Sejauh mata memandang, terbentang lautan biru tak bertepi. Dibalik pesonanya, gunung Egon ternyata juga menyimpan bahaya.



Jika Egon meledak dahsyat, kemana penghuni pulau ini lari. Menuju gunung, berhadapan dengan lahar panas dan hujan debu. Turun ke pesisir, terhadang samudra. Bayangan ini mungkin terlalu dramatis, tapi melihat Egon yang terus aktif, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Waspada dan siaga, pada akhirnya hal penting yang harus dilakukan masyarakat setempat.

Seperti gunung Merapi di Yogyakarta dan gunung Kelud di Kediri, masyarakat di sekitar gunung Egon, juga memiliki kearifan lokal sendiri. Mereka seakan tahu, kapan gunung berbahaya dan kapan ia bersahabat. Pada zaman yang telah lahir teknologi pembaca aktivitas gunung api, idealnya bisa dipadukan antara kearifan lokal dengan kecanggihan teknologi.

Meski pada realitanya, masyarakat di sekitar daerah rawan bencana, kerap mengabaikan ramalan teknologi itu. Seperti, di desa Bahukrenge yang berjarak kurang dari 3 km, dari bibir kawah Egon. Meski pada 2004, para ahli volcanologi telah merekomendasikan desa ini dikosongkan, masyarakat bergeming.

Adeo Datus Dewa, kepala desa Bahukrenge, menolak untuk mengosongkan desa itu. Sebuah desa bak surga, di gugusan kepulauan Flores yang kering dan tandus. Desa ini penghasil sayuran dan beras. Tempat subur bercocok tanam dan jauh dari paceklik yang selalu menghantui masyarakat NTT, umumnya.

“Ini tanah kami, warisan dari nenek moyang kami. Di sini tanahnya subur. Kami tidak takut gunung meletus”, tandas Adeo Datus Dewa, kukuh.

Tatkala gunung Egon meletus, Selasa malam, (15/4), Adeo dan warga Bahukrenge, hanya panik sesaat. Mereka menghambur keluar rumah, cari tempat perlindungan. Setelah fajar menyingsing, mereka kembali ke desa lagi. Meski debu tebal menutup desa dan bau belerang menyengat, warga Bahukrenge seperti sudah terbiasa.

Padahal, letusan gunung Egon, April lalu cukup dahsyat. Semburan debunya mencapai radius puluhan kilometer, dengan ketebalan mencapai 0,5 cm. Desa desa di lereng gunung Egon yang terkena dampak parah letusan ini, meliputi, Egon Gahar, Hale dan Hedi, Nangatobong, dan Bahukrenge. Bahkan, debu Egon sampai di sepanjang trans Maumere – Larantuka.

Sebelum hujan turun, bau belerang dan debu, amat mengganggu kesehatan warga Desa Bahukrenge. Tapi mereka enggan mengungsi, karena menganggap letusan ini sudah biasa terjadi. Mereka bertahan di dalam rumah. Setelah air hujan mengendapkan debu, warga Bahukrenge kembali aktif bercocok tanam.

Masyarakat desa ini, sebenarnya pernah direlokasi. Tapi gagal, mereka kembali ke Bahukrenge lagi. Seperti diakui Adeo, kesuburan lahan menjadi alasan kuat penolakkan itu. Setiap Rabu, Bahukrenge diramaikan para pendatang dari desa desa bawah dan pesisir. Seperti dari kota Maumere. Bahukrenge, tiap Rabu jadi pasar sayur. Mobil pick up berdatangan ke desa itu, mengangkut hasil bumi lereng Egon. Pada hari biasa, ganti warga Bahukrenge yang turun ke kota menjual hasil pertaniaannya.

Menurut Adeo Datus Dewa, hasil pertanian desa Bahukrenge, dapat mencukupi kebutuhan sayur mayur masyarakat se-Flores. Namun, meski daerah subur, masyarakat desa ini tak sesejahtera petani di Lembang, Bandung, dan petani di pulau Jawa. Kehidupan mereka, masih mentok di bawah garis kemiskinan.

Tingkat pendidikan masyarakat Bahukrenge, juga rendah. Sejak letusan Egon 2004, di desa ini tidak ada lagi sarana pendidikan dan fasilitas umum lainnya. Gedung sekolah dasar yang semula ada, sudah ditutup, pindah ke desa Egon Gahar. Anak anak Bahukrenge, harus menempuh jarak 3,5 km, menuju desa paling bawah, jika ingin sekolah.

Medan menuju Bahukrenge cukup sulit. Selain jalannya sempit, juga berliku, dengan aspal yang mulai hancur. Pasca letusan itu, akses jalan raya juga terputus oleh debu tebal. Dua pekan kemudian, baru bisa dibuka dengan pengeruk traktor.

“Kami tak dapat menjangkau Bahukrenge. Bantuan hanya bisa sampai di desa bawah”, terang Iman Surahman, koordinator lapangan Dompet Dhuafa Republika (DD) yang terjun membantu korban letusan gunung Egon.

Menurut Iman, distribusi air bersih yang dilakukan relawan DD, hanya sampai di Desa Nangatobong, Egon, dan Egon Gahar. Desa Bahukrenge, tidak dapat ditembus dengan truk tangki air.

“Bahukrenge memang paling rawan bahaya. Tapi kelihatannya, masyarakat tidak punya pilihan lain kecuali harus menetap”, kata Iman yang selama satu pekan berada di lokasi.

Tak mudah memang, menerapkan teori dan standar keselamatan jiwa secara ideal. Saat menyentuh urusan perut dan kelangsungan hidup, marabahaya seakan tidak menakutkan. Mereka telah mengakrabi ancaman bencana, dengan kearifan lokal, berdasar keyainan mereka.

Jika keyakinan itu salah? Entahlah, yang pasti cara hidup menantang maut seperti itu, kerap kita jumpai di masyarakat kecil negeri ini. Mereka yang berada dekat dengan daerah rawan bencana, maupun mereka yang terjerat akar kemiskinan.

Satu hal bisa kita pelajari, mereka tak menjalani hidup ini, dengan cara cara mudah, seperti korupsi. Mereka punya semangat, keberanian, dan harga diri, untuk hidup bermartabat.

Read More......

Bilakah Sampannya Kembali

Hati Mursydin (52) sekan teriris iris. Tiap ia kenang sampannya yang hilang. Deburan ombak yang mengempas pesisir Maumere, seperti membawa pulang sampan kecil itu. Ia tengok, tapi selalu hampa. Dia hanya dapati perahu ukuran besar yang berlabuh di pantai. Mursydin mulai kerap termenung. Batinnya guncang, memikirkan sampan itu.


Waktu sampan belum hanyut ke laut, Mursydin menggunakannya untuk mancing ikan. Ia bisa menghidupi istri dan 9 anaknya. Sejak sampan hilang, Mursydin terpaksa minjam sampan pada saudara dan tetangganya. Ia menunggu berjam jam, sampai pemilik sampan mendarat. Setelah itu, ia baru bisa melaut dengan cuaca yang tak mampu ia pilih. Mursydin tak leluasa seperti dulu, dapat memilih saat saat jam ikan kumpul.

Satu bulan setelah sampan hilang, ujian lebih berat menimpa lelaki mualaf itu. Malam itu, cuaca buruk mengintai pesisir Maumere. Tapi Mursydin tidak menyadari, karena telinganya tidak dapat lagi mendengar suara apapun. Ruhmania (42), sang istri, telah mengingatkan dengan bahasa isyarat, kalau angin di luar kencang. Tapi Mursydin diam. Ia malah beranjak tidur. Pulas.

Kali ini, deru angin makin mengerikan. Perkampungan di pesisir Maumere, seperti tersapu. Ruhmania yang baru mau tidur, terbelalak. Ia segera membangunkan anak anaknya. Sementara suaminya tetap pulas.

“Hai bapak! Kita punya rumah mau terbang ini! bangun!”, teriak Ruhmania cemas. Mursydin malah mendengkur.

“Anak anak, bangunkan bapak kalian!”, Ruhmania panik.

“Bapak! Bapak! Ayo bangun!”, jerit anak anaknya sembari memukul mukul tubuh ringkih Mursydin.

“Hai! Ada apa kalian bangunkan bapak!” nyawa Mursydin belum kumpul. Ia masih bingung. Tatkala kepalanya mendongak ke langit, ia mulai sadar.

“Lho! dimana aku tidur!” Mursydin bangun, kaget. Ia tengok atap rumahnya sudah hilang. Benda benda di sekitarnya juga bergoyang hebat. Kini ia mulai panik. Tangannya, bergegas menarik tangan istri dan anak anaknya.

“Ayo kita lari!” Mursydin bergegas. Sembari masgul, Ruhmania dan anak anaknya mengikuti arah lari Mursydin.

Belum 100 meter berlari, mereka berhenti. Dalam pendar pendar lampu kapal, Mursydin menengok sejenak rumahnya.

“Brusss!” ombak tinggi naik lebih dari 100 meter dari pantai. Rumah Mursydin lenyap seketika. Mursydin lemas. Ia lunglai tak mampu lari lagi.

“Ya Allah, apalagi yang Engkau ambil dari kami”, gugat Mursydin lirih.

Esok pagi, ia tengok rumahnya sudah tidak berbekas. Sejak itu, bersama korban lainnya, Mursydin tinggal di tenda darurat. Suatu hari, ia pernah didata untuk menandatangani kertas bantuan. Isi bantuannya, seng, paku, kayu, dan beras. Tapi setelah datang, yang ia terima bersama korban lainnya, hanya seng. Point yang lain, tidak pernah sampai, hingga kini.

Dari 9 anak Mursydin, hanya satu yang sekolah. Itupun karena ada yang menitipkan di panti asuhan Surabaya. Anak itu yang kelak diharap harap Mursydin, bisa membawa pulang kembali sampannya yang hilang. Namun, penantian itu tidak pasti. Sementara, keluarga Mursydin, harus melanjutkan hidup.

Menurut Ruhmania, Mursydin malu sampai kini masih pinjam sampan. Pikirannya jadi tertekan. Tapi hanya itu yang dapat diperbuat saat ini. Sampai sampai, ia berangan angan, jika kelak punya sampan akan meminjamkannya ke orang lain.

Sore itu, angin di pesisi Maumere cukup kencang. Di depan tenda daruratnya, Mursydin memandang laut Flores. Mungkin ia masih berharap, sampannya kembali, menyembul dari dasar laut. Mungkinkah Mursydin?

Read More......

Ancaman Rawan Pangan


Pangan langka dan mahal tidak saja menerpa secara langsung warga termiskin di dunia. Inflasi, yang didongkrak harga pangan dan minyak, juga mulai menggerus ekonomi dan dikeluhkan di banyak negara. Topik pembicaraan terus berkembang dan makin mengarah pada probabilitas terjadinya stagflasi global.



Presiden World Bank, Robert Zoellick, awal April lalu mengingatkan, krisis pangan bisa memicu perang. Menurutnya, akan ada 33 negara di seluruh dunia yang mengalami masalah instabilitas politik dan sosial, akibat tingginya harga bahan pangan dan harga bahan bakar minyak.

Ungkapan Zoellick bukan pepesan kosong. Kini, kerusuhan akibat kelangkaan bahan pangan terjadi di Mesir, Pantai Gading, Madagaskar, Kamerun, Filipina, Papua Nugini, Mauritania, Mexico, Maroko, Senegal, Uzbekistan, dan Yemen. Perdana Menteri Haiti, bahkan dimakjulkan dari jabatannya, gara-gara soal perut yang menyebabkan lima warga mati, ditembak dalam kerusuhan massal.

Padahal, menurut Amartya Zen (1998), sepanjang sejarah dunia, sebenarnya tidak pernah bumi ini mengalami kekurangan dalam penyediaan bahan pangan. Tapi yang terjadi, distribusi tidak merata sehingga krisis demi krisis kerap terjadi.

Bahkan, FAO dalam laporannya tahun 2004 menyatakan, peningkatan produksi pangan dalam 35 tahun terakhir telah melampaui laju pertumbuhan penduduk dunia, sebesar 16%. Lantas mengapa rawan pangan mengancam?

Masalahnya adalah, negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, ‘’mengatur’’ pertanian negara- negara lain, agar menguntungkan pertanian mereka sendiri. Misalnya lewat tangan WTO (World Trade Organization), mereka melakukan politik pertanian internasional mazhab Neo-liberalisme dengan memaksakan kesepakatan AOA (Agreement on Agriculture) WTO.

Menghadapi ancaman rawan pangan ini, berbagai negara, kini bergegas melakukan langkah antisipasi, setidaknya menjamin pengadaan pangan. China telah memperbaharui program insentif di sektor pertanian dengan dukungan Rp 80 triliun dana. India dan Filipina, memilih pembangunan prasarana pedesaan, pengadaan bibit unggul dan sarana pendukung pertanian. Lantas, apa yang kini bisa dilakukan Indonesia?

Setidaknya, kita bisa mulai melakukan moratorium liberalisasi perdagangan. Tahan ekspor komoditas pangan, menstabilkan cadangan emas, menyimpan hasil pertanian (padi, jagung, kedelai, dll) bukan malah dijual ke luar negeri, tidak mencari utang baru, menentukan skala prioritas kebutuhan pokok di setiap lini, dan meninjau ulang semua investasi asing, terutama yang terkait tambang dan sumberdaya alam.

Lebih strategis lagi, kita harus berani keluar dari WTO. Bentuk perjanjian yang menjerat leher bangsa ini, sejak 1995. Kita perlu bererat-erat dengan negara negara yang bersih dan berpihak. Negara negara yang tidak melumuri bangsanya dengan darah bangsa lain, sebagai penjajah. Tapi, untuk memutuskan keluar, rakyat bangsa ini perlu berdoa sepenuh hati, agar pemerintah yang kita cintai ini, berani memilih jalan bermartabat itu.

Read More......